Tampilkan postingan dengan label Ciamisan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ciamisan. Tampilkan semua postingan

02 September 2009

Lambang Dt. II Ciamis




Beberapa pendapat tentang arti kata "Mahayuna"

1. Mahayunan = Menghadapi ( Perda Swatara Dt II Ciamis Tahun 1995 )
2. Mahayunan = Kebersamaan dalam pembangunan ( Balai Kajian BKKSN Bandung )
3. Mahayuna = Memperindah ( Batu Tulis Astana Gede Kawali )

Penjelasan Lambang Daerah Swatantra Tingkat II Ciamis

1.1. Sebuah Perisai bersudut empat yang artinya :
1. Sudut tengah atas melambangkan harus ada pemimpin yang berkewibawaan
2. Kedua sudut kiri dan kanan yang sama tinggi letaknya melambangkan cita-cita daerah ialah adil dan makmur
3. Ketiga sudut bagian atas melambangkan syarat minimum kesejahteraan masyarakat yaitu sandang pangan yang cukup, keamanan dan kepercayaan.
4. Keempat sudut perisai, melambangkan syarat untuk tercapainya kemakmuran menurut leluhur bangsa Indonesia ialah :
a. Setia Kepada pemimpin
b. Meniadakan Musuh-musuh
c. Bertindak adil menurut hukum-hukum yang berlaku
d. Waspada setiap saat demi keselamatan daerah dan negara

1.2. Di dalam perisai tersebut terdapat lukisan-lukisan
1. Pohon kelapa melambangkan penghasilan daerah Ciamis yang terutama disamping padi
2. Gunung, merupakan Gunung Syawal yang ada di Ciamis dan untuk mengenangkan para leluhur Ciamis (GALUH)
3. Bidang Kuning mas mendatar, melambangkan daerah padi
4. Bidang putih bergerigi, melambangkan benteng pertahanan
5. Bidang putih mendatar berisi guhaban rumput, melambangkan rawa
6. Lengkung-lengkung putih melambangkan laut dan sungai
7. Bundaran kuning mas yang menyerupai payung terkembang melambangkan kerajinan tangan, seni budaya kekal (langgeng) ketekunan
8. Pada bagian bawah perisai terdapat sebuah kalimat "Mahayunan Ayuna Kadatuan" yang berarti menghadapi pembangunan kebahagiaan daerah.

1.3. Arti warna-warna
1. Ungu = kekayaan budhi
2. Kuning = kekayaan duniawi, cahaya kelegaan
3. Hijau = damai, subur
4. Putih = suci bersih
5. Hitam = tegas, kuat

1.4. Ukuran
a. tinggi = 102 cm
b. lebar = 65 cm

1.5. Perincian
Lambang yang tingginya 102 cm
A. Bagian Gunung
dari bingkai sampai kaki gunung = 37, 5 cm
puncak bingkai diambil dari garis datar ke puncak = 7,5 cm
1.Gunung
- Tinggi puncak gunung = 19 cm
- Kaki Gunung sebelah kiri = 5 cm
- Kaki gunung sebelah kanan = 8 cm
2. Pohon Kelapa
- Tinggi pohon kelapa = 21 cm
- Lebar daun ke kanan = 30 cm
- Jarak dari bingkai sampai dengan kaki pohon = 5 cm
- Jarak dari bingkai sampai dengan puncak pohon = 10 cm

B. Bagian Sawah = 27 cm
terdiri dari sawah/benteng/rawa/ombak
a. Sawah dan benteng = 10 cm (masing-masing 5 cm)
b. Rawa = 7 cm terdiri dari 2 warna masing-masing berwarna hijau dan putih
c. Ombak atau laut = 10 cm
= 37,5 cm

1.6. Bagian bawah berisi roda
terdiri dari :
a. Lengkung huruf berbentuk V tidak berbentuk telapak kaki kuda
b. Jarak huruf MAHAYUNAN dengan garis pinggir dari kiri dan kanan = 5,5 cm
c. Dari bawah = 8 cm
d. Antara huruf dengan payung ke atas = 16 cm dari titik payung
e. Antara huruf dengan payung kiri kanan ke bawah = 6,5 cm
f. Gambar payung dari atas/bawah = 30 cm/tengah-tengah
g. lebar huruf = 4 cm

Gempa Tasikmalaya Part 2


Gempa dengan kekuatan 7,3 skala richter yang terjadi pada hari Rabu sore tepat pukul 15.00 lebih dan berlangsung dua kali dengan rentang waktu 10 menit ini membuat syok masyarakat Jawabarat dan sekitarnya.
Banyak korban dilaporkan meninggal dunia akibat tertimpa reruntuhana bangunan, bahkan di daerah Cianjur ada daerah yang tertimbun longsor akibat tanahnya digoyang gempa.
Kuatnya gempa yang masih teringat oleh masyarakat Tasikmalaya dan sekitarnya, membuat enggan kembali ke rumah karena takut akan adanya gempa susulan.
Ini juga yang dirasakan di kampung saya di Tanjung Manggu, Desa Sindangrasa Ciamis, sore hari setelah gempa, warga Tanjung manggu masih banyak yang berkumpul di luar rumah dan ditempat terbuka, kepanikan warga juga terjadi hingga malam hari.
Seusai salat Tarawihan, warga Tanjungmanggu mulai banyak yang berjaga-jaga diluar. Dinginnya malam tidak mengganggu kami untuk tetap terjaga dari tidur. Waktu sudah menunjukan sekitar pukul 11 malam, tiba-tiba menambah kecemasan akan terjadi gempa susulan ditambah padamnya lampu, ini membuat kami semua kembali keluar rumah. Selang beberapa waktu lampu nyala lagi, kami pun mulai lega. Beberapa rekan keluarga ada yang sudah tidur disekitar ruang tengah rumah agar tidak jauh dari pintu.
Pukul 12.00 tepat tengah malam, lampu kembali padam dan ini berlangsung lama, kamipun kembali ke luar karena. Bahkan ada satu keluarga yang tidur berbarengan dihalaman rumahnya. Walaupun begitu, akhirnya kami terkalahkan juga oleh rasa kantuk.
Mungkin malam itu bagi kami warga Tanjung Manggu Ciamis, terasa malam yang sangat tegang dan panjang begitu juga dengan warga lainnya yang menjadi korban gempa.
Alhamdulillah, malam tadi tidak terjadi gempa susulan.
Dan kami pun harus segera beraktifitas kembali di pagi hari ini.

Gempa Tasikmalaya


Tanggal 2 september 2009, tepat pukul 3 sore lebih, telah terjadi gempa bumi tektonik di sekitar daerah Tasikmalaya dan sekitarnya. Menurut laporan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG)Gempa tersebut berkekuatan 7,3 skala richter dengan kedalaman 30 km di sebelah barat daya lepas pantai Tasikmalaya.
Gempa tersebut dirasakan bukan hanya di daerah Priangan Timur, Bandung, Jakarta, bahkan Bengkulu, Jawa Tengah dan terasa sampai ke Bali. Gempa tersebut dirasakan selama kurang lebih 10 menit dan berlangsung dua kali dengan kekuatan yang relatif lebih rendah. Akibat gempa ini, banyak warga Tasik yang enggan kembali ke rumah karena takut terjadi gempa susulan.

Saya sendiri yang bertempat tinggal di Ciamis, merasakan gempa tersebut sangat kuat. Ketika itu sedang di menonton tv, tiba-tiba terasa goyangan kecil, sempat terpikir untuk tidak dulu keluar, karena biasanya hanya gempa kecil yang sementara getarannya. Tetapi kekuatannya makin kuat, banyak orang menariakan lafadz Laa illahaillaloh.... dengan berlarian ke luar rumah. Ketika itu dirumah hanya ayah, teteh dan saya sendiri. Sambil meneriakkan asmaNya kami menatap depan rumah yang dengan jelas dan dengan mata kepala sendiri dinding-dinding rumah bagian atas retak dengan cepat. Kami mulai berlarian menjauh ketika dinding itu retak. Ada pengalaman yang saya alami. Disaat lari menjauhi rumah, tepat samping kiri saya genteng-genteng berjatuhan dari rumah tetangga, Alhamdulillah saya selamat dari jatuhan genteng tersebut. Gempa pertama mulai reda, dan saya mulai lihat teteh dan ibu-ibu menangis saling memeluk. Dengan gemetar kami kembali menengok robahan genteng-genteng, dan ayah pun masuk untuk mengamankan beberapa barang, belum berapa lama gempa terjadi lagi, kami mulai berlarian begitu juga ayah saya langsung keluar dengan panik.
Suasana hari itu terasa kelam, menegangkan dan benar-benar tidak menyangka akan "bertemu" gempa yang sampai merusak bagian-bagian rumah.

Orang-orang dengan rasa cemas masih diluar rumah, sambil diiringi isak tangis.
Kebetulan ibu saya sedang keluar rumah naik motor, dan saya disuruh menyusulnya ke daerah alun-alun sampai pasar. Di perjalanan, pertama yang dilihat Hotel Tyara yang cukup besar itu terlihat retak-retak, memasuki daerah alun-alun, disini bangunan lebih parah lagi, daerah Swadaya, terdapat bangunan yang roboh depannya, selain itu Toserba Yogya yang menjulang tinggi retak-retak dan pakaian yang digantung, berserakan dimana-mana, para pegawai dan pembeli berkumpul di daerah jalan HOS Cokro, sambil diiringi isak tangis. Tidak jauh dari Yogya, tepatnya disamping Puspita Cipta atau depan toko asesoris SIMPLE terdapat bangunan roboh.

Saya mulai berangkat lagi ke daerah pasar, disana masih banyak orang berkumpul di luar. Di sekitar RS.Permata Bunda, banyak pasien yang dilarikan keluar akibat takut tertimpa reruntuhan bangunan.

Kembali ke gempa di sekitar tasik, informasi terakhir terdapat korban jiwa dalam kejadian gempa Tasik ini.
Saya liat di tvOne ada sekitar 6 orang meninggal dunia di Banjar, Sukabumi 2 orang, Cianjur kurang lebih 15 orang, Garut 4 orang, dan Tasikmalaya 8 orang, Bandung 9 orang, Ciamis 4 orang, Bogor 2 orang, Sukabumi 2 orang, mungkin jumlah ini akan bertambah seiring dengan hilangnya beberapa warga. Info terbaru ternyata sudah mencapai 52 orang meninggal akibat gempa di daerah jawa barat.

Ini semua merupakan ujian kita ditengah melaksanakan Ibadah Puasa, Yaa Allah ampuni dosa-dosa hambaMu ini, kami merasa gemetar dengan kekuatan yang belum seberapa dariMu ini Yaa Allah. Kami begitu kecil dihadapanMu.
Selamatkanlah keluarga kami, kerabat kami, muslimin wal muslimat dimanapun berada, terimalah mereka yang telah menghadap disisiMu akibat ujian ini. Amin

Semoga kita bisa lebih takwa dan khusuk dalam menjalankan ibadah puasa ini, setelah melihat kebesaran Allah ini. Terakhir semoga keluarga yang ditinggalkan mendapat kesabara. Amin...



>>> Inilah salah satu ruangan korban gempa tepatnya di kamar sayah...

30 Agustus 2009

Apakah "Galuh" Lebih Masyhur daripada "Ciamis"…?

Ketika sedang "berselancar" di internet, tidak sengaja saya menemukan blogger-blogger asal Ciamis, ada yang berupa kumpulan mahasiswa, situs pribadi, atau yang lainnya yang memberikan title GALUH, diantaranya GALUH JAYA, LASKAR GALUH, PUTRA GALUH, dan masih banyak lagi, yah termasuk blog saya ini. hehe. Selain itu, ada juga di pintu sebuah kamar kontrakan di Dayeuhkolot Kabupaten Bandung terpampang tulisan mencolok memakai huruf kapital dan berwarna ungu. "Putra Galuh", demikian bunyi tulisan tersebut. "Saya berasal dari Ciamis, teman-teman juga yang sama dari Ciamis banyak yang membuat tulisan 'Putra Galuh' di pintu kamarnya, seperti saya," kata Rosyid, seorang karyawan sebuah industri garmen di Mengger, yang menempati kamar kontrakan itu.<
Rosyid merasa ada sesuatu yang lain dengan membuat tulisan "Putra Galuh" di pintu kamarnya. "Galuh memberikan pada saya rasa percaya diri yang tinggi," ujarnya. Dia mengaku merasa lebih reueus (bangga) kalau mengatakan berasal dari Galuh. "Sedikit banyak saya tahu tentang kebesaran Galuh pada zaman dahulu, nama Ciamis saya kira tidak mengandung makna apa-apa dan tidak jelas asal-usulnya," kata Rosyid lagi.
Rosyid tidak sendirian. Orang-orang Ciamis yang karena sesuatu hal, melanjutkan sekolah atau bekerja, pergi merantau banyak yang menonjolkan identitas Galuhnya. Di Yogyakarta, misalnya, pelajar dan mahasiswa yang berasal dari Ciamis menamai asramanya dengan nama Asrama Galuh. Perkumpulan mahasiswa asal Ciamis yang belajar di Jakarta pun sama, memakai nama Galuh, yakni Keluarga Besar Mahasiswa (KBM) Galuh.
Di Bandung, mahasiswa dan pelajar yang berasal dari Ciamis juga membuat organisasi dengan nama Galuh Taruna. Bukan hanya mahasiswa dan pelajarnya yang memakai nama Galuh, melainkan juga inohong-inohong asal Ciamis yang menetap di luar Ciamis. Di Bandung, umpamanya, terdapat perkumpulan dengan nama Wargi Galuh.
Tak cukup itu, huruf awal "G" yang terdapat pada nama seseorang bisa dijadikan petunjuk bahwa yang punya nama itu berasal dari Galuh. Prof. Dr. Yudhistira K. Garna -- Guru Besar Antropologi Unpad Bandung -- misalnya, huruf "G" pada nama Garna menunjukkan bahwa Prof. Dr. Yudhistira berasal dari daerah yang kini bernama Ciamis. "Saya memang berasal dari Ciamis," kata Prof. Yudhistira. Konon, orang Ciamis yang memakai nama diawali "G" adalah keturunan bangsawan Galuh.
Alasan mahasiswa, pelajar, dan inohong-inohong Ciamis memakai nama Galuh sama seperti yang dikemukakan Rosyid tadi. "Nama Galuh mengandung nilai sejarah yang tinggi ketimbang Ciamis," kata Asep, Ketua Umum KBM Galuh Jakarta. Galuh pada masanya, menurut Asep merupakan kerajaan besar. "Wilayah kerajaan Galuh cukup luas dan masa kejayaannya juga cukup lama," kata Asep.
Bagi sejarawan dari Unpad Bandung, Dr. A. Sobana Hardjasaputra, S.S., M.A., masyarakat Ciamis lebih membanggakan nama Galuh daripada Ciamis, itu dapat dimengerti. "Galuh yang di antaranya berarti permata memiliki sejarah yang jelas serta pernah menorehkan kemasyhuran dan kejayaannya, sedangkan Ciamis tidak," ujarnya. Menurutnya, sikap masyarakat Ciamis seperti tadi menunjukkan bahwa apresiasi mereka pada sejarahnya cukup baik.
Pada acara halalbihalal yang diadakan Wargi Galuh di Bandung awal bulan Januari tahun 2003, A. Sobana mengatakan ihwal Galuh tidak hanya terdapat dalam sejarah, tetapi juga terdapat dalam legenda atau cerita rakyat. "Dalam Wawacan Sajarah Galuh, umpamanya, nama Galuh disebutkan sudah ada semenjak zaman prasejarah, dipakai sebagai nama ratu, yakni Ratu Galuh yang mendirikan kerajaan di Lakbok setelah mengalahkan siluman," katanya.
Dalam sejarah, nama Galuh dipakai dalam kurun waktu yang lama, dari abad ke-7 sampai abad ke-16 Masehi, dari nama kerajaan sampai nama kabupaten. "Kerajaan Galuh muncul pada abad ke-7 Masehi, didirikan oleh Wretikandayun," kata A. Sobarna. Kerajaan Galuh ini terus eksis sampai akhir abad ke-16 dan mencapai puncak kejayaannya pada masa Prabu Niskala Wastu Kancana yang pusat kerajaannya di Kawali.
Meski belum dapat dibuktikan kebenarannya sebagaimana yang dituntut oleh ilmu sejarah, berdasarkan tradisi lisan pengaruh kerajaan Galuh sampai di Jawa Timur. Di Surabaya, tepatnya di Kecamatan Bubutan, terdapat nama Kampung Galuhan. Pada tahun 1970-an, orang-orang tua di sana mengaku mereka merupakan keturunan dari Kerajaan Galuh. Nama Galuhan sendiri tadinya berasal dari kata Hujung Galuh atau Ujung Galuh. Nama ini bisa diartikan batas Kerajaan Galuh.
Sebagai kerajaan yang besar yang wilayah kekuasaannya pernah mencakup beberapa wilayah Jawa bagian tengah, Kerajaan Galuh meninggalkan ajaran atau falsafah yang sekarang disebut falsafah kagaluhan. "Falsafah kagaluhan di antaranya berasal dari prasasti Kawali I di Astana Gede, yakni pakena gawe rahayu pakeun heubeul jaya di buana yang artinya harus membiasakan berbuat kebajikan agar lama jaya di dunia," kata A. Sobana.
Ajaran kagaluhan lainnya diambil dari pandangan atau sikap Prabu Haurkuning mengenai kehidupan. "Prabu Haurkuning antara lain berpendapat bahwa kehidupan harus berlandaskan pada silihasih. Ini juga harus berlandaskan pada budi pekerti yang baik," kata A. Sobana. Manusia harus bisa memilih mana yang baik dan mana yang tidak baik. Prabu Haurkuning juga mengingatkan bahwa yang membuat harum seseorang tiada lain adalah budi yang luhur.
Falsafah kagaluhan juga dapat dilihat dari warna ungu yang dipakai oleh Kerajaan Galuh. "Warna ungu ini melambangkan keagungan atau keluhuran budi," kata Ir. H. Enang Supena, tokoh Ciamis yang bekerja dan menetap di Jakarta. Warna ungu ini hingga sekarang terus dipertahankan oleh Pemerintah Kabupaten Ciamis dan menjadi lambang Kabupaten Ciamis.
Nama besar Galuh, menurut A. Sobarna, tidak lantas menjadi luntur pada waktu kerajaan Galuh -- sejak tahun 1595 -- menjadi daerah patalukan (vassal) Mataram dan wilayahnya hanya sebagai kabupaten. Demikian juga waktu dikuasai VOC dari tahun 1705 sampai akhir abad ke-18. "Saat dipegang oleh Bupati R.A.A. Kusumadiningrat (1839-1886), pamor Kabupaten Galuh sangat tinggi karena menjadi kabupaten yang disegani pada masa itu," kata A. Sobarna.
Namun, nama Galuh tidak bisa terus terpakai. "Sejak dikeluarkan dari Wilayah Keresidenan Cirebon dan dimasukkan ke Keresidenan Priangan tahun 1915, tanpa ada alasan yang jelas nama Kabupaten Galuh berubah jadi Kabupaten Ciamis," ujar A. Sobarna. Sejak itu, nama Galuh perlahan tapi pasti terpupus, terutama di dalam administrasi pemerintahan kolonial Belanda, hingga saat ini. Nama Galuh hanya dipakai pada hal-hal yang berkaitan dengan budaya dan sejarah.
Mengenai nama Ciamis, menurut A. Sobarna, hingga saat ini belum ditemukan asal-usulnya. "Ada yang mengatakan nama Ciamis pertama kali diperkenalkan oleh orang Jawa karena sungai di wilayah Galuh banyak ikannya. Amis dalam bahasa Jawa artinya anyir," ujarnya. Ada pula yang berpendapat nama Ciamis ini muncul karena di Galuh pernah terjadi banjir darah. "Darah juga kan baunya amis, anyir," kata A. Sobarna.
Banjir darah yang dimaksud terjadi pada tahun 1739 di daerah Ciancang sehingga terkenal dengan sebutan tragedi Ciancang atau Bedah Ciancang. Waktu itu, daerah Ciancang diserbu ratusan penjarah yang berasal dari Banyumas, namun pasukan Ciancang yang dibantu oleh pasukan dari Sukapura, Limbangan, Parakan Muncang, dan Sumedang, dapat menumpasnya. Para penjarah banyak yang terbunuh.
Melihat ketidakjelasan dari datangnya nama Ciamis ini, A. Sobarna berpendapat bahwa nama Ciamis tidak memiliki nilai sejarah dan tidak mengandung nilai falsafah. "Tidak seperti Galuh," ujarnya. Oleh karena itu, A. Sobarna menyebutkan digantinya Kabupaten Galuh menjadi Kabupaten Ciamis tidak ditemukan dasar filosofinya. "Kalau dikaitkan dengan bau amis ikan atau darah, itu merupakan cemoohan dan pelecehan," katanya lagi. ***
Sumber : Harian Umum Pikiran Rakyat (Juni, 2003)

22 Juli 2009

History of Ciamis




According to historian WJ van der Meulen, Original Regional Center (royal) Galuh, namely around KAWALI (Ciamis district now). Next WJ van der Meulen argued that the word "galuh", derived from the word "sakaloh" means "the river of origin", and in the tongue Banyumas become "Segaluh".
In Sanskrit, the word "galu" indicates a kind of jewel, and is also commonly used to refer to the king's daughter (who was ruled) and not married. As a history of other towns and districts in West Java, the sources told the origins of an area is generally classified as traditional historiography which contain elements of myth, fairy tales or legends in addition to the historical elements.
These manuscripts include Carios Wiwitan Kings in Java Island, Wawacan Galuh History, and also with my manuscript Galunggung Galuh History, Ciung Vanara, Carita Waruga Teacher, Historical Bogor. These texts are generally written in the 18th century until the 19th century. There is also the manuscripts of his contemporaries or near the time of the Kingdom of Galuh.
These manuscripts, including Trance Siksakanda 'Karesian Ng, written in 1518, when the Kingdom of Sunda was still there and Carita Parahyangan, written in 1580. Galuh establishment as a kingdom, according to the manuscripts first group can not be separated from the figures as Queen Queen Galuh First.
In a report written Galuh History Research Team (1972), there are many royal names as follows: Kingdom Galuh Sindula (according to other sources, the Kingdom of Bojong Galuh) located in its capital Medang LAKBOK and Gili (year 78 AD?); Kingdom located Rahyang Galuh in Brebes with capital Medang Pangramesan; Kalangon Galuh located in its capital Roban Medang Pangramesan; Galuh Lalean Cilacap is located in the capital is Medang Kamulan; Galuh Banjarsari PATARUMAN capital located in Banjar PATARUMAN; Galuh Kalinga is located in its capital Bojong Karangkamulyan; Tanduran Galuh located in its capital Pananjung Bagolo ; Galuh Kumara located in Tegal capital is Medangkamulyan; Galuh Pakuan capital is KAWALI; Pajajaran capital located in Bogor Pakuan; Galuh banners are located in its capital Nanggalacah banners; District Central Nagara Galuh Cineam located in its capital Bojonglopang then Gunungtanjung; District located in Imbanagara Galuh Barunay ( Pabuaran) Imbanagara and the capital is located in District Cibatu Galuh capital is Ciamis (since 1812).
For historical research, when the Kingdom Galuh established, can be traced from contemporary sources in the form of tablets. There is an inscription that includes the name "Galuh", although the name without the explanation of the location and time. In inscription dated 910, King Balitung referred to as "Rakai Galuh". In Siman inscription dated 943, stated that "I kadatwan rahyangta Bhumi mdang I ingwatu galuh mataram".
Then in a Calcutta Charter stated that the enemy attackers fled into Galuh Airlangga and the West, they were destroyed in the year 1031 AD. In some inscriptions in East Java and in the Book Pararaton (estimated to be written in the 15th century), mentioned a place called "Hujung Galuh" located on the banks of the river Brantas. Galuh name as the capital is called multiple times in the text of a stele dated 732, found in the pages of Mount Wukir enshrinement in Hamlet Canggal (near Muntilan now).
In the Parahyangan carita, mentioned that King Maharaja based in KAWALI. After becoming king for seven years, went to Java, there was war in Majapahit. From other sources note that the King Hayam Wuruk, the newly ascended the throne in 1350, daughter of King Maharaja asked to become his wife. Only, it is said, Gajah Mada's daughter wants a tribute.
King of Sunda not accept this arrogant Majapahit and choose to fight until killed in action in Bubat.
Her son is named Void Wastu Kancana was still small. Therefore kingdom Bunisora Hyang held some time before they handed over to the Void Wastu Kancana as an adult. Information on the Void Wastu Kancana, can be clarified by the evidence of the inscription and the inscription KAWALI Batutulis and Kebantenan.
Mataram to Galuh invasion strengthened during Sultan Agung. Penguasa Galuh, Adipati Panaekan, diangkat menjadi Wedana Mataram dan cacah sebanyak 960 orang. Galuh ruler, Duke Panaekan, was appointed Wedana Mataram and mince as much as 960 people.
When Mataram planning attacks against VOC in Batavia in 1628, the mass of Mataram in Priangan argued. Rangga Gempol I of Sumedang for example, reinforced the defense wanted the former, while the Tatar Dipati Ukur of Measure, wanted the attacks carried out immediately. Conflict occurs also in Galuh between the Duke's sister-in-law Panaekan Dipati Kertabumi, Regent on Bojonglopang, son of King Dimuntur Geusan Ulun descendants of Sumedang.
In the dispute Panaekan Duke was killed in 1625. He later changed his son Mas Dipati Imbanagara based in Garatengah (Cineam now). During Dipati Imbanagara, the capital was moved from District Galuh Garatengah (Cineam) to Calingcing. But shortly later moved to Bendanagara (PANYINGKIRAN). In the year 1693, the Company appointed Regent Sutadinata as Regent Galuh Angganaya replace. In 1706, he was also replaced by Kusumadinata I (1706-1727).
In the mid-19th century, ie during the reign of the Regent Kusumadiningrat RAA Galuh, the colonial government was keen-giatnya implement compulsory. People in Region Galuh, besides being forced to plant indigo plant coffee, too.
To ease the burden to be borne by the people, RAA Kusumadiningrat known as "Kangjeng Prabu" by the people, building canals and dams to irrigate the area pesawahan. Since the year 1853, Kangjeng Prabu lived in the residence of the royal palace named Selagangga. Between 1859-1877, carried out building in the capital district.

Besides, her attention to education is very big. Kangjeng Prabu ruled until 1886, and his post passed to his son, the Duke of Raden Aria Kusumasubrata. In 1915, District Residency included Galuh Priangan, and officially renamed to Ciamis District.
Source: Nina H. Lubis, Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat, tahun 2000. Lubis,

- Anda klik 10 iklan/hr = $0.125
- 20 downline klik 10 iklan per hari = $2.00
- penghasilan harian Anda = $2.125
- penghasilan bulanan Anda = $63.00
Minimum Payout $10 via Paypal

Translate this Blog

Arabic Korean Japanese Chinese Simplified Russian Portuguese
English French German Spain Italian Dutch

Al Ayat

Schedule of Salat Ciamis

Followers

Garudaku